Drama Dari Nganganaumala, 20 Tahun Dibacakan Doa Arwah, Tiba-tiba Muncul Cari Hamka
Wa Jihana atau mamaknya La Teke, berpose bersama cucunya. (Foto: YUHANDRI HARDIMAN)
MEREKA saling berpandangan hendak membisu tak percaya. "DIA masih hidupp....kah!" kata beberapa tetangganya, heran ketika saya datang ke Nganganaumala menyampaikan La Isi ingin bicara dengan Hamka. Minggu malam 31 Maret Pukul 21.20 Wita, La Isi yang sudah 20 tahun hilang, tiba-tiba saja menelepon ke nomorku dengan suara terbata-bata dan gugup. Terdengar ia sulit memulai kalimat. "E...., saya, e..., saya, saya, saya gugup pak," begitu katanya bernomor operator Malaysia yang terus-menurus mengaku kalau dia orang Tanah Buton.
YUHANDRI HARDIMAN
TAK sedikitpun saya bersimpati padanya. Yang ada di kepalaku adalah
dia salah sambung sekaligus mencurigainya kalau dia hendak menipuku. Apalagi banyak kasus penipuan melalui telepon seluler kerap dialami oleh orang banyak. Entah dengan alasan minta tolong, atau pura-pura bertanya, atau modus apa saja untuk mengelabui korbannya.
"Saya orang Buton pak," begitu lagi dia mengulangi. "Iya kalau bapak orang Buton, kenapa menghubungi saya. Apa lagi mau minta tolong! Kenapa tidak bapak hubungi saja bapak punya keluarga, kan bapak orang Buton?" begitu saya jawab.
"Saya minta carikan Hamka di pasar ikan di Nganganaumala," Hamka apa
lagi kataku dalam hati sambil tidak serius mendengarkan perkataannya. "Saya masih bawa mobil pak, bapak minta tolong sama yang lain saja," karena memang saya yakin dia mau menipuku. Tetapi saya juga tidak mau mematikan handphoneku. Sebagai seorang jurnalis, saya terdorong untuk mengkroscek kebenaran kata-katanya. Tidak ada pasar ikan di Nganganaumala, begitu saya menjawabnya.
Guntur yang sedari tadi mendengarkan percakapan saya bertanya siapa?. Saya jawab "Penipu..," begitu saya memberitahu guntur dengan tidak bersuara tapi dia mengerti kalimatku melihat bentuk bibirku yang merangkai kata pe-ni-pu.
"Saya di Jiran pak, sudah 20 tahun tinggalkan Tanah Buton," tambah yakin kalau dia mau menipuku. "Bapak ini mengaku sudah 20 tahun di Malaysia. Kenapa tidak ada sengkot-sengkot orang Buton sedikit pun. Bapak ini logatnya Jawa.
La Isi menelepon ke saya ketika mobilku melintasi Nganganaumala dari arah Wameo. Sebetulnya dia ingin mematikan pembicaraan dan nanti akan menelepon lagi kalau saya sudah sampai di Travelku di Jln Chairil Anwar, Lrg TK Tomba.
"Kalau saya pakai bahasa malaysia, awak nak ngerti lah," Saya ngerti pak, jawabku. Ketika itu saya sudah belok kiri ke arah Mesjid Tomba pas di
perempatan Pasar Karya Nugraha.
Dulu saya merantau ke Aceh, lalu saya kini tinggal di Malaysia. Tapi saya urang Indonesia. Saya lahir di Tanah Buton.
"To the point saja, bapak mau minta tolong apa sebenarnya. Kenapa bisa saya cari nama Hamka, bapak sendiri tidak tahu di mana persisnya. Bapak cari lain saja. Pasar ikan ada empat di Kota Baubau," dia tambah bingung. Karena ketika saya tanya, setahunya pasar ikan hanya ada di Nganganaumala. Saya jelaskan kalau pasar ikan di Baubau ada empat, ada di Wameo, Karyanugraha, di Sentral Lama. Meski pada akhirnya saya juga salah ternyata ada tiga pasar ikan. Hehehehehehehe. Tapi aslinya dia tahu. Yang dia tahu Toko Sahabat, ada terminal kereta.
Saya mulai sedikit percaya sama dia. Hanya saja karena memang dia telah lama meninggalkan Tanah Buton, maka informasi perkembangan infrastruktur Kota Baubau dia masih pakai fersi lama. Artinya, pengetahuannya untuk pembangunan Kota Baubau belum direfisi.
"Toko Sahabat orang sudah tidak tau di mana bro. Itu terminal kereta sudah jadi Kantor Pol PP," Dia tambah bingung dan hilang arah. "Di Baubau sekarang ada Pantai Kamali, KFC, dan tidak ada lagi tepi pantai di Nganganaumala. Nganganaumala sudah jauh dari tepi pantai, sudah direklamasi."
"Ya, aku sudah dengar kalau Buton sudah maju, bukan lagi empat kabupaten." Meski sudah percaya, saya masih sedikit ragu. Sebab bisa saja dia mempelajari tipografi dan biografi Kota Baubau. Tapi kejujurannya menyebut fakta fisik masa lampau, konek dengan katanya telah meninggalkan Tanah Buton selama 20 tahun.
"Saya minta tolong...." dia bernada penuh harap. "Tapi saya bukan di Baubau pak, saya di Ereke, di Buton Utara, jaraknya 185 Km dari Kota Baubau. "Kali ini saya bohongi dia agar dia tidak berhasil mengelabuiku.
"Saya berharap kapan saja ke pasar ikan saya hanya ingin bapak kasih nomorku ini ke Hamka," begitu katanya. Dia mengatakan kalau rumahnya di Nganganaumala. Saya uji lagi dia, siapa yang bapak kenal di sana yang kira-kira saya bisa tahu. Karena kalau mau cari Hamka mustahil pak, karena ini akan menjadi urusan pertemuan kebetulan nantinya kalau Tuhan memberi jalan. Begitu kataku masih belum mau didikte olehnya.
Dia menyebut Bengkel Rio, dia mengaku kenal Rio. Tapi HP-nya putus. Saya duga dia kehabisan pulsa. Sebagai seorang jurnalis, saya penasaran dan terdorong untuk mengkrosceknya.
Saya menuju Nganganaumala tujuan Bengkel Rio. Tetapi Bengkel Rio malam itu sudah tutup, hanya ada sebuah mikrolet biru menutupi pintu masuk rukonya. Tak jauh dari ruko ada tiga orang duduk bercerita di depan kounter. Saya menuju kounter itu.
Saya sampaikan kepada mereka kalau saya cari nama Hamka. "Hamka siapa pak," kata mereka. "Saya juga bingung ini. Ada orang mengaku namanya La Esi minta dicarikan nama Hamka."
"Ooooooowwww, saudaranya La Teke itu,,, dia masih hidupkah," mereka bertiga gempar. Di situ rumahnya mamanya eee, sambil salah satu dari mereka memanggil mamanya La Teke, bernama Jihana.
Iya, dia itu sudah mati kata mereka. Saya perlihatkan nomornya yang terdiri dari 11 digit +60102760255. "Hamka yang dia cari ini juga saudaranya tapi dia merantau di Fakfak. Di Malaysia garaaaka La Isi ini," kata mereka.
Berurai Air Mata, Ibu Menguji Anaknya
WA JIHANA tergopoh-gopoh dikawal cucunya yang masih kecil-kecil datang ke konter tak jauh dari Bengkel Rio. Saya lihat ibu yang sudah dimakan usia itu mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Lumayan mendaki tebing dari rumahnya yang berada di Kotamara.
Dia tidak berkata-kata, hanya senyum kecil. Mungkin tidak percaya kalau La Isi anaknya yang selama ini diyakini sudah meninggal itu tiba-tiba menelepon dan mencari Hamka. Yang lain bertanya kepada saya, bagaimana jalan ceritanya sampai La Isi telpon ke nomorku.
"La Isi ini sudah mati, kita sering baca-bacakan, kita zakat fitrakan," kata ibunya, Jihana, masih tidak percaya. Saya isi pulsaku 10.000 lalu saya telpon kembali pak La Isi. Handpon saya berikan kepada Wa Jihana supaya langsung berkomunikasi dengan putranya di Malaysia.
"Ini dengan siapa," kata yang dari Malaysia. "Ini dengan siapa," kata
sang ibu masih tidak percaya. Lalu HP mati. Semakin seru saja malam itu, orang-orang di situ membentuk lingkaran kecil dan Wa Jihana berada di tengah-tengah lingkaran itu masih tidak percaya.
Saya telpon kembali. La Isi minta agar saya mematikan HP nanti dia
akan menelepon kembali. Dering HP android buatan Indonesia merak Zyrex punyaku memecah malam itu. Apalagi nada deringnya saya seting ke dering klasik.
"Kasih speker pak," kata yang lain juga sama-sama penasaran. "Pak La Isi, saya sekarang bersama-sama dengan kita punya mama Wa Jihana, ini silahkan bicara." Sang ibu memulai pembicaraan "Dengan siapa ini?" "Saya La Isi mak."
"Kalau kamu La Isi, coba sebutkan saudara mu!" begitu delik sang ibu menguji untuk memastikan bahwa dia sedang mendengar suara La Isi secara langsung menjelang tengah malam itu.
"La Teke, Haliza, Amran, Ariyati, Amini," begitu La Isi menyebut nama-nama saudaranya satu per satu. Aku melihat, Wa Jihana meneteskan air mata, suaranya gemetar sendu dan melemah.
Dia sudah lupa warna suara anaknya yang telah meninggalkannya 20 tahun itu. Air matanya menetes mengalir di kedua pipinya yang keriput dimakan usia. "Kopulang mi nak......, komasih hidupkah kasiaaaaan....., ko di manakah ini." Wa Jihana tidak menjerit, tetapi bentuk bibirnya mulai mencong tidak karuan, tidak bisa menahan rasa haru dan kerinduannya."
Dia menjauh dari kounter dan duduk di sebuah kursi di dekat lemari gorengan. Beberapa ibu di situ ikut meneteskan air mata dan mengikutinya kemana dia bergerak. Saya tidak tahu lagi apa pembicaraan ibu dan anak yang terpisah oleh jarak dan waktu itu. Yang saya tangkap adalah, mereka berreuni, menyebut masa silam di Tepi Pantai, di gubuk rumah panggung, berhalaman laut yang sekaligus menjadikan halaman itu sebagai kakus. Menjual ikan di pasar, membawa pulang sebungkusan beras untuk dimakan bersama, dan sebagainya.
Saya melihat mimik ibu itu dari jarak 10 meter di samping meja gorengan menghadap dinding rumah tetangganya, dan saya tetap di depan konter. Suaranya kecil tidak kedengaran, ada beberapa ibu-ibu mengapitnya mendengar percakaan itu
dan menemaninya meneteskan air mata.
Tiga hari sebelum La Isi mencari jalan pulang (menelepon, red), anak gadisnya, Asmin dari Tampo datang ke gubuknya meminta uang sebanyak 300.000. "Katanya mau beli HP," barangkali HP untuk berkomunikasi dengan ayahnya yang meninggalkannya ketika berusia tiga bulan.
Anak itu tidak bosan bertanya pada neneknya tentang keberadaan ayahnya. "Sebenarnya di mana bapaku ina," begitu tutur Wa Jihana, ditemui di beranda gubuknya di Kotamara, Senin malam 2 April 2013.
Sebetulnya Wa Jihana antara yakin dan tidak kalau anaknya telah meninggal. Karena sejak kepergiannya tampa kabar dan tanpa petunjuk di mana keberadaannya. La Isi hari-harinya semasa di Baubau berprofesi sebagai penjual ikan di pasar. Setiap pulang dari kerja, dia pasti membeli beras. Hanya itu yang diingat Wa Jihana tentang La Isi yang tidak tamat SD itu.
La Isi adalah anak ke tiga. La Teke anak pertama, Haliza (alm) anak kedua, lalu Ariyati, Hamka, Amran. La Isi meninggalkan Baubau di saat ayahnya masih hidup. Dia pernah ke Aceh, Manila, hingga ditarget untuk dibunuh.(***)
Jadi Perompak, Lolos Dari Samurai
FAKTOR KEMISKINAN yang mendorong La Isi untuk merantau jauh. Adik kandung La Teke ini menyebutnya sebagai kebangkitan jiwa untuk mencari harapan. Begitu dia sampaikan dengan bahasa Melayu Malaysia.
Kemiskinan dan kesengsaraan itu sangat menggores. "Tergores di hati aku, skolah aku tak mampu, orang tuaku miskin, tak punya apa-apa. "Alhamdulillah kini aku bawa kereta. Pekerjaan aku mengenalkan suatu polis, macam-macam," berbahasa Malaysia.
Perjalanan tanpa arah mencari harapan di rantau. Itulah yang disebutnya hilang jejak. Dia bekerja di kapal dan membawanya hingga ke Philipina. "Aku ada masalah di Philipina, aku mau dibunuh," kata La Isi.
Beberapa kali sabetan samurai (senjata khas Jepang) meleset. Dia melarikan diri dengan cara masuk ke air dan berenang sekuatnya menjauh dari kilauan samurai yang akan menyayatnya itu.
"Untung dia tak bawa pistol. Kalau tidak, habis lah aku dibunuhnya," katanya berkeluh kesah.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakannya itu menjadi kisah terburuk dalam perjalananya. Ia diselamatkan oleh temannya yang juga orang Philipina dengan menyuruhnya untuk berenang. "Aku muntah berang kecapean," begitu katanya.
Sejak kejadian tragis itu dia memutuskan kembali ke Malaysia. Di sana ia ditangkap oleh Kepolisian Kerajaan Malaysia dan dijebloskan ke tahanan. Dengan membayar uang senilai 1000 ringgit Malaysia, ia pun dibebaskan dan mulai bekerja lagi. La Isi pertama kali ke Malaysia sempat mencari nafkah di Kota Sabah, namun kini dia menetap di Malaysia Barat.
La Isi meninggalkan Kabupaten Buton ketika itu tahun 1993. Dan sebetulnya masih banyak perantau yang lebih lama dari ini. Hanya saja perantauan La Isi cukup melegenda, sebab tanpa arah dan tanpa kabar sejak kepergiannya.
Di mata warga Nganganaumala, La Isi sudah meninggal entah di mana. Makanya mamahnya Wa Jihana tidak percaya kalau yang menelepon tempo hari adalah La Isi anaknya. Sebab dia sudah mati ditelan ganasnya alam.
Sebagai seorang ibu tentu Wa Jihana ingin bertemu dan berupaya untuk mengetahui informasi putranya itu. Beberapa para normal dia datangi. Mulai dari dukun di Lipu, dukun di Karya Baru, dan dukun di Wameo ia datangi.
"Sama jawaban orang tua itu semua. Katanya ini ana masih hidup, dia mau kembali, tetapi masih ada yang halangi," ujarnya.
La Isi pertama merantau ke Sabah, lalu ke Philipina, dan kembali ke Malaysia Barat. "Saya juga pernah di Aceh," katanya. Selama perantauannya dia belum sekali pun bertemu dengan orang Buton. Itulah kemudian yang menyebabkan dia hilang jejak.
Di Malaysia La Isi memiliki dua anak. St Halifah dan Muh Ilyas. Dia menikahi wanita warga negara Malaysia asal Kampung Jawa, bernama Umriati. Ketika aku tanya berapa istri abang, dia menjawab dengan di kampung dia beristri tiga.
Lalu saya tanya tahu tidak kalau anaknya di Baubau sudah gadis dan terus mencari ayahnya. Dia menangis, aku tahu dari suaranya yang bergetar. "Aku ini berdossaaa, aku tinggalkan anakku itu masih umur tiga bulan. Aku ini pembangkang," katanya.
Dia membeberkan semua yang pernah dilakoninya sebelum bekerja di pabrik suku cadang Toyota, Daihatsu, dan Honda. "Aku pernah jadi perompak. Klu ingat masa lalu aku, aku ini berdosa," kata pria yang tidak tamat SD ini.
"Aku panjang umur meski semua keluargaku mengira aku sudah mati. Aku sudah bicara dengan keluargaku di Ambon, aku melepas kerinduan dengan mereka," tandasnya.
Dia ketawa geli saat kuingatkan berbagai kuliner orang Buton seperti kasoami, parende, dan kaholeo. "Ya ya yaya, parende. Aku rindu Tanah Buton. Aku sering buka internet, benteng, rumah adat," pokoknya aku bangga dengan Buton.
Begitu perbincanganku yang kurang lebih satu setengah jam dia meneleponku dari malaysia. Aku pernah meneleponnya dari Baubau dengan pulsa 10.000 hanya 20 detik habis pulsa. Dia masuk jamaah tabliq.
"Waktu sudah petang, nanti kita sambung, aku mau jalani kewajibanku dulu (Shalat Magrib, red). Sampai jumpa La Isi, ternyata kamu masih hidup dan masih berjuang mencari harapan yang terhampar.(***)
Dibaca 741 kali
KOMENTAR BERITA
09:04/05-04-13
Melis
bagus skli pak,ini adlh sbuah motivasi untk kt bhw hdup it sngt brrti dn jngn prn mngeluh sesusah apapun hdp kt slm kt msh bs brusha why not....
09:04/05-04-13
teke
ternyata ada saudaranya la teke yg hilang. seru ceritanya bro
09:04/06-04-13
Nanoe
LUAR BIASA !!! saya sempt merinding baca berita ini. Jadi rindu Buton Maju terus BauBauPos.com
15:04/20-04-13
radilaega
Setiap detik waktu sangat berati buat Ayah, Ibu, Saudara(i) dan semua. kebersamaan adaalah hal terpenting dalam hidup.....
18:05/13-05-13
syawal
luar biasa..!!! keren skali.. kyk sinetron.. mantaappp
21:06/05-06-13
Asrul
Seperti novel diksinya.
16:07/05-07-13
nurdin mardan
Terharu,,tak terasa air mataQ menetes membaca kisah ini. Pak La Isi lebih serru jika mudik lebaran ke Baubau;
06:07/06-07-13
adhenMenthenk
pulang sudah ,,,,makanya jangan pergi jauh" bikin gempar warga buton saja,,ee,,,,