TERNYATA aura Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi) tidak hanya terletak di dasar laut. Banyak segmen yang menyimpan pesona luar biasa namun belum mendapat sentuhan. Akankah menjadi surga nyata di darat?
YUHANDRI HARDIMAN, BAUBAU
MENGANALISA hasil penelitian empat mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kepulauan Tukang Besi itu yang mencoba mengangkat potensi wisata dari sudut pandang lain, sepertinya akan membuka mata dunia bahwa Wakatobi itu punya aura dari berbagai sudut. Sebuah dinamika mengikuti jalannya waktu, lambat laun orang Wakatobi pada akhirnya menyadari bahwa menghargai kearifan lokal dan memelihara potensi unik yang dimiliki daerah adalah kekayaan yang tiada tara.
Keragaman budaya dan potensi wisata dari Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko (Wakatobi) paling tidak oleh sekelompok peneliti mahasiswa akhir IPB itu sangat mengagumkan, sekaligus sebagai goresan anugerah dari sang pencipta meletakkan Wakatobi sebagai bagian dari segi tiga karang dunia. Ekowisata yang dimulai oleh pebisnis dari luar negeri tidak membuat picik pemikiran orang Wakatobi yang terkenal mudah menyesuaikan diri itu.
Berbagai resort tumbuh dan pengelolanya adalah orang-orang lokal. Pengunjungnya pun gencar. Siap atau tidak, paling tidak pengusaha resort orang lokal itu telah memposisikan diri sebagai rival pebisnis asing yang telah lama menggeluti itu. Hmmm orang wakatobi itu secara SDM sudah siap sejak dulu, di sana itu adalah pabrik pemimpin dan pebisnis, serta tempatnya orang-orang yang berwawasan luas.
Mulai dari ciptaan Tuhan berupa gua-gua dan pantai serta obyek wisata lainnya yang berdaya tarik tinggi terdapat di sana. Ragam tarian tradisional, dan berbagai jenis makanan tradisional yang khas Wakatobi, dan ekowisata lainnya yang masih perawan belum disentuh. "Mangrove di Desa Tampara, Pulau Kaledupa sangat bagus dan masih alami namun belum digarap," kata salah seorang mahasiswi IPB berdarah NTB itu, Nur Dwi Febriani.
Untuk Pulau Kaledupa terdapat beberapa titik mangrove. Di antaranyya Derawa, Langgira, dan Lentea. "Paling tidak ada 8 lokasi. Tapi saya memilih Tampara karena aksesnya lebih mudah," celetuk gadis berkulit sawomatang itu.
Di balik rimbunan mangrove itu terdapat penghuni yang justru menjadi inti kawasan itu. "Ada kepiting kenari, ada walet, ada madu sriganti, ada burung elang perut putih, dan kekep Sulawesi," katanya.
Penghuni itu menyatu dengan rimbunnya hutan mangrove. Kawasan itu menyimpan daya tarik tinggi dan tinggal disentuh untuk dikelola. Burung-burung itu menjadi berkas pesona dan menjadi kekhasannya. Feby, nama sapaan Nur Dwi Febriani, menyebutkan beberapa kawasan wisata mangrove yang telah dikelola dengan baik masih bisa dibandingkan dengan hutan mangrove Tampara.
"Kalau di Jakarta di Muara Angke menjadi taman mangrove, ada lokasi wisata. Di dalamnya dibangun trail mengrove (semacam jembatan yang dibangun melingkari hutan mangrove disediakan untuk pengunjung). Sarana pendukung lainnya seperti home stay dengan fasilitas lain yang lengkap," kata Feby.
Berpindah ke Pulau Tomia. Di sana ada teman Feby, Chandra Kurniawan Surbakti yang meneliti potensi wisata budaya dan sejarah. Di Tomia, Chandra meneliti benteng, makam bersejarah, gua, tarian, alat musik, kearifan masyarakat, makanan tradisional, dan aspek bahasa. Terdapat tiga benteng di sana, yakni benteng Patua, Benteng Moori (Suo-suo), dan Benteng Rambi Randa. Benteng Patua dinilai lebih tua dari dua benteng lainnya yakni berkisar abad ke-18.
"Benteng Patua lebih besar. Sedangkan Benteng Suo-suo dan rambiranda lebih kecil. Benteng-benteng ini ada kaitannya dengan Kesultanan Buton," katanya.
Untuk makanan dinilai unik. Seperti Karasi, cucuru, tihe (bulu babi, red) fusese (rumput laut mirip anggur dan bisa dimakan). "Saya belum pernah melihat fusese seperti itu. Banyak terdapat di Desa Tee Moane," katanya.
Berbagai gua yang diteliti di antaranya Lia Titi, Gua Wasolato, Liangkurikuri, Teewali. Sedangkan tarian yang sempat diteliti adalah Tari Sajo Moane, Eja-eja, dan Lariangi. "Lariangi ini ditarikan oleh perempuan Wakatobi yang berpakaian adat leja, berselendang, dan berkipas.
Masih ada kearifan lokal yang sangat unik dan memiliki daya tarik. Seperti hesurabi (meti-meti) pada malam hari dan loloa (tolak bala), dan kandea. Untuk kuburan, Chandara mendatangi Kuburan Limuko dan Kuburan Buaya.
Dari sekian Pulau di Wakatobi, Pula Binongko dinilai tidak tersentuh dengan baik dari segi ekowisata, tidak ada penginapan dan fasilitas pendukung wisata lainnya. Padahal pulau terujung itu menyimpan berbagai aura dan pesona. "Saya terpesona dengan pantai yang bersih tidak pernah kotor," ujar Obaje Edward Sembiring yang melakukan penelitian 3,5 bulan bersama teman-temannya.
Beberapa pantai seperti Palahido yang memiliki panjang 500 meter, Onemelangka dengan panjang 1,5 km dan beberapa pantai lainnya sangat terancam. Bukannya dilihat sebagai daya tarik wisata malah pasirnya dieksploitasi untuk kebutuhan infrastruktur rumah.
Di sana terdapat burung kakatua jambul kuning, burung wili-wili besar, dan pergan perut. Burung-burung ini terancam. "Saya meneliti di sana banyak perangkap burung," katanya khawatir. Namun untuk ke Binongko akses transportasi sangat mudah, bisa naik kapal langsung dari Baubau, atau naik Spid Boad dari Wanci. Di sana terdapat Gua Lasikori yang pajangnya 100 meter. "Tapi sebenarnya belum sampai pada ujungnya, karena masih banyak rongga yang bisa ditelusuri. Kata orang rongga itu tembus dari Desa Wali ke Desa Haka," ungkapnya.
Dia mengambil banyak foto sesuai dengan penelitiannya yang bertajuk fotografi sebagai media promosi. "Dengan memperlihatkan foto kepada orang secara tidak langsung kita telah mengajak orang untuk datang ke suatu tempat," tandasnya.(**)
Dibaca 280 kali
KOMENTAR BERITA