baubaupos.com - Mengingat perjanjian perdagangan dunia, yang pada akhirnya berlaku secara global dan mengikat negara-negara yang ikut menandatangani kesepakatan, maka vocal point yang mewakili negara adalah pemerintah. Dalam kaitan ini, pemerintahlah yang berunding dan bersepakat atas nama negara, sedangkan dunia usaha berpartisipasi dalam memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka perundingan dimaksud.
Ketentuan diberlakukannya kesepakatan perdagangan dunia yang berlaku secara global, memang tidak dapat kita elakkan. Dalam kehidupan dunia yang serba modern dan terbuka, keterkaitan kebutuhan antar satu dan yang lain sangatlah tinggi dan makin meningkat. Semuanya pada akhirnya, menghadapkan kita untuk mau tidak mau mengikuti ketentuan dan kesepakatan yang diberlakukan secara umum, antar negara-negara yang saling berinteraksi. Jika kita tidak ingin mengikuti aturan perdagangan yang berlaku secara liberal, maka kita akan tersisihkan dan terkucil dari sistem perdagangan internasional.
Meskipun, aturan perdagangan internasional tersebut diberlakukan secara liberal, tetapi ada sistem yang mengatur sampai pada kita benar-benar siap memasuki sistem itu secara penuh. Disinilah letak permasalahannya, karena ketika aturan itu ditawarkan kepada kita, seringkali kita tidak siap untuk melakukan pembahasan dan negosiasi. Semua ini sesungguhnya tidak lepas dari grand strategy dari apa yang hendak dicapai dan dikembangkan ke depan oleh masing-masing negara, terutama negara maju; yang seringkali Indonesia tidak punya perencanaan matang. Bahkan banyak program yang telah dicanangkan Indonesia, tidak memiliki arah yang jelas, dan juga tak punya rundown action plan serta tahapan pencapaiannya. Keterlibatan negara/pemerintah sangat menentukan bagi siap dan tidak siapnya, bahkan kemenangan atau kalahnya kita memasuki kancah persaingan perdagangan internasional.
Fenomena Liberalisme Perdagangan
Liberalisasi perdagangan muncul sebagai bagian dari kebutuhan, terkait akan pemenuhan atas barang maupun jasa agar dapat diperoleh dengan cara yang mudah, murah dan cepat, kendati untuk mendapatkannya harus melewati batas antar negara bahkan benua. Kesepakatan-kesepakatan dan ketetapan yang dibuat antar negara dalam aktifitas perdagangan ini pada akhirnya berkembang dalam cakupan yang lebih luas, terutama kegiatan ekonomi pada umumnya dan kita juga menyebutnya sebagai liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ekonomi yang kini telah mengglobal atau sering disebut dengan istilah globalisasi ekonomi, ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” dan dalam prosesnya melibatkan banyak negara. Jika globalisasi berjalan secara optimal, maka arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di suatu negara.
Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Baubau–Sulawesi Tenggara, setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Vietnam atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun halangan birokrasi dari pihak pemerintah Vietnam atau Filipina maupun dari pemerintah Indonesia dalam urusan administrasi seperti izin dan sebagainya.
Globalisasi ekonomi yang kini tengah berlangsung, bersifat kian mendasar dan struktural serta berjalan semakin pesat, mengikuti kemajuan teknologi, yang prosesnya juga makin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga mempertajam persaingan antar negara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi, finansial dan produksi.
Mencermati persaingan yang makin tajam dan untuk menjaga fairness, maka World Trade Organization (WTO) atas prakarsa negara-negara pendiri, mengupayakan suatu kerjasama multilateral untuk mendorong semua negara anggota memilih kebijakan perdagangan bebas, sehingga diharapkan dapat memperoleh solusi kerjasama yang optimal. Sistem perdagangan multilateral yang dijalankan WTO sesungguhnya merupakan pengembangan dari kesepakatan perjanjian multilateral di bawah kerangka General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947. Namun dalam perkembangannya, liberalisasi perdagangan di bawah kerjasama multilateral WTO berjalan lamban. Kelambanan ini terjadi misalnya seperti di negosiasi kolektif (collective bargaining), penyebabnya adalah free rider problem.
Banyak negara anggota khawatir bahwa mereka akhirnya memberi konsesi yang lebih banyak daripada yang diterima. Selain itu, perbedaan kepentingan antara kelompok negara maju dan negara berkembang, serta diantara blok-blok negara maju itu sendiri yang begitu besar dan sulit dijembatani menyebabkan alotnya kesepakatan.
Hal lain yang membuat WTO banyak menuai protes karena berbagai kesepakatan perdagangan yang telah dibuat, sesunguhnya bukanlah kesepakatan yang sebenarnya.
Kesepakatan tersebut adalah pemaksaan kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang WTO buat. Dalam hal ini WTO seringkali membuat sebuah peraturan secara global, padahal penerapan peraturan tersebut di setiap negara belum tentu cocok. Kendati demikian, meskipun peraturan tersebut tidak cocok, negara anggota harus tetap mematuhinya, jika tidak, negara tersebut dapat terkena sangsi ekonomi oleh WTO. Negara-negara yang tidak menginginkan keputusankeputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya.
Pasalnya, pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan sebuah rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa) yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Sebagai reaksi atas kelambanan kerjasama melalui WTO, akhirnya kerjasama liberalisasi perdagangan dalam bentuk free trade area (FTA), custom unions, common market dan sebagainya banyak bermunculan akhir-akhir ini. Kerjasama semacam ini, banyak melibatkan negara-negara yang berdekatan secara geografis, dan sering disebut sebagai kerjasama liberalisasi perdagangan regional.
Dalam FTA, sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masingmasing terhadap impor dari negara-negara di luar FTA. Sedangkan Custom Union (CU) terbentuk ketika sekelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka dan sekaligus memberlakukan satu rejim tarif bersama bagi impor dari negara-negara non anggota. Lain hal dengan dengan pasar bersama (common market), yang membentuk perdagangan bebas barang dan jasa, serta memberlakukan satu rejim tafif bersama bagi impor dari negara-negara non anggota, serta memperbolehkan pergerakan bebas tenaga kerja dan kapital antar antar negara anggota, seperti di Uni Eropa misalnya.
Indonesia sendiri banyak terlibat dengan berbagai kesepakatan kerjasama liberalisasi perdagangan regional seperti ASEAN, APEC, Indonesia Jepang EPA, ASEAN-Jepang, ASEAN-China, CEPT-AFTA, ASEAN-Korea, ASEAN-Australia-New Zealand dan ASEAN-India.
Tujuan kerjasama ini, antara lain:
1. Memenuhi kebutuhan dalam negeri akan barang dan jasa
2. Memperluas pasar hasil produksi barang dan jasa
3. Mendorong peningkatan produktivitas
4. Memperluas lapangan kerja
5. Menambah devisa degara
6. Mendistribusikan manfaat sumber daya
7. Mengurangi ketimpangan negara maju dan negara berkembang
Dampak positif dari kerjasama ini, diharapkan:
1. Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
2. Menghilangkan hambatan perdagangan Internasional
3. Memperluas kesempatan kerja
4. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
Dampak Liberalisasi Perdagangan Bagi Pelaku Bisnis Indonesia
Segala sesuatu yang berlaku dan menjadi ketentuan untuk diikuti, dapat memberikan dampak positif atau negatif tergantung dari kesiapan kita dalam menghadapi ketentuan yang diberlakukan tersebut. Untuk itu, seyogyanya jika ketentuan baru akan diberlakukan, kita perlu mempersiapkan diri terlebih dahulu secara baik, karena potensi kerugian akan dialami jika kita tidak siap dan mampu menjalani ketentuan yang ditetapkan. Dalam kaitan mempersiapkan diri, tentunya harus dilakukan secara bersama dan dilaksanakan dengan saling mendukung serta difasilitasi secara baik oleh pemerintah, agar kepentingan bangsa yang lebih besar dapat lebih diamankan.
Dampak nyata dari liberalisasi perdagangan terhadap perekonomian Indonesia adalah terutama pada dua area yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, yakni produksi dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Pengaruh negatif bisa disebabkan oleh barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor Indonesia, karena daya saing produk domestik rendah.
Turunnya ekspor bisa menimbulkan dampak lanjutan terhadap anjloknya produksi dalam negeri, jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat di dalam negeri tersebut untuk tujuan ekspor. Dampak negatif ini juga bisa saling mengait, misalnya karena pemasukan devisa hasil ekspor berkurang, maka dana untuk membiayai proses produksi juga makin sulit, serta dampak lainnya lagi yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebaliknya, jika Indonesia mempunyai daya saing yang baik, maka liberalisasi perdagangan dunia membuka peluang yang besar bagi ekspor Indonesia, yang berarti ekspor meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas diversifikasi produksi di dalam negeri.
Liberalisasi perdagangan akan sangat tergantung dengan kemampuan daya saing bangsa, artinya makin tinggi tingkat daya saingnya, maka negara tersebut akan makin siap untuk menjalankan persaingan perdagangan di pasar internasional. Namun karena sistem liberalisasi perdagangan ini umumnya muncul dari negara-negara maju, maka diperlukan kehati-hatian bagi negara dunia ketiga atau negara berkembang untuk mengikatkan diri pada kesepakatan liberalisasi perdagangan.
Tetapi yang seringkali kita temui dan terjadi pada umumnya, negara berkembang ikut atau masuk dalam sistem liberalisasi perdagangan karena adanya keterikatan aspek politik atau hutang misalnya, yang pada akhirnya dengan terpaksa masuk dalam kesepakatan liberalisasi. Bukan hanya itu, kecerobohan juga dapat terjadi karena kurangnya tingkat kemahiran dalam bernegosiasi, sehingga pada akhirnya liberalisasi perdagangan memberatkan negara berkembang.
Pada dasarnya, dampak liberalisasi perdagangan sangat tergantung pada tiga faktor, yakni: 1) tingkat distorsi/intervensi kebijakan pemerintah; 2) komitmen masing-masing negara untuk mengurangi distorsi tersebut; 3) konsistensi pelaksanaan komitmen.
Distorsi sendiri biasanya muncul terkait dengan kesiapan negara yang bersangkutan terhadap pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Makin siap suatu negara, yang ditandai dengan tingginya tingkat daya saing yang dimiliki, maka distorsi akan makin kecil. Sebaliknya jika negara belum siap memberlakukan kesepakatan liberalisasi perdagangan, biasanya tingkat distorsi yang muncul tinggi dan berdampak pada upaya-upaya untuk memperlambat pelaksanaan komitmen. Dengan berbagai alasan, baik itu faktor teknis maupun dinamika pasar, sering dijadikan upaya untuk menghambat pelaksanaan komitmen. Selanjutnya, kelambatan pelaksanaan komitmen oleh suatu negara sering diikuti oleh negara pesaingnya.
Sesuai dengan aturan yang berlaku di tingkat internasional, setiap negara memiliki hak untuk menerapkan kebijakan yang bersifat proteksinis. Namun demikian, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, yaitu dalam rangka memberikan kesempatan kepada negara yang bersangkutan untuk mempersiapkan diri menghadapi resiko liberalisasi perdagangan. Untuk itu, diperlukan data yang lengkap dan akurat serta argumentasi ilmiah yang kuat sebagai justifikasi atas pelaksanaan kebijakan proteksionis tersebut. Hal ini menjadi penting, karena dalam aturan hukum perdagangan internasional, negara mitra dagang memiliki hak untuk melakukan retaliatory actions (tindakan balasan).
Namun negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara sehingga negara dunia ketiga terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea masuk atas produk dan jasa dari negara maju di negara berkembang, yang dikaitkan dengan pengucuran bantuan hutang kepada negara yang bersangkutan. Akibatnya, negara dunia ketiga semakin berat dan harus siap dengan kondisi terpuruk sebagai akibat sistem yang ada.
Penghapusan tarif impor merupakan bagian dari pemaksaan penghapusan satusatunya bentuk proteksi yang tersisa oleh negara-negara dunia ketiga terhadap penetrasi pasar dalam negeri mereka terhadap negara maju. Tetapi negara-negara maju dapat membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri mereka terhadap ekspor dari negara-negara dunia ketiga melalui penerapan serangkaian hambatan-hambatan non-tarif yang kokoh.
Bagi pelaku usaha, bersaing sesungguhnya merupakan hal yang biasa, karena melalui persaingan yang ada justru akan lebih membuat unit usaha semakin berupaya meningkatkan produk/jasa yang lebih berkualitas. Melalui persaingan yang ada, perusahaan akan semakin matang dengan sistem pengelolaan usaha yang lebih baik, agar semakin efisien, tangguh dan berdaya saing.
Namun untuk dapat berlaga di pasar internasional, terutama bagi usaha kecil dan menengah dibutuhkan bantuan agar mereka betul-betul siap memasuki arena. Bimbingan teknis maupun fasilitasi infrastruktur merupakan bentuk persiapan yang sangat menentukan bagi kesiapan dunia usaha nasional menghadapi liberalisasi perdagangan. Ketersediaan infrastruktur adalah penentu bagi upaya meningkatkan daya saing, seperti tersedianya listrik, transportasi, pelabuhan, telekomunikasi, energy dan lain-lain.
Selain itu, local high cost seperti: pengenaan tarif, pajak dan cukai yang wajar, pungutan, retribusi dan lain-lain, juga merupakan salah satu faktor yang menjadi penghambat meningkatkan daya saing.
Kesemua ini, harus segera diatasi dan ditangani secara sungguh-sungguh oleh pemerintah agar Indonesia semakin mampu dan siap menghadapi liberalisasi perdagangan. Upaya untuk memperkuat seluruh instrument yang dapat mempengaruhi daya saing, sesungguhnya juga pada akhirnya dapat memperkuat pasar domestik dari serbuan produk dari luar negeri, baik yang legal maupun yang ilegal (selundupan). Seiring dengan itu, pemberlakuan Standard Nasional Indonesia (SNI) juga harus lebih ditingkatkan.
SNI harus dapat dikembangkan implementasinya sehingga dapat dijadikan bagian dari non tarif barrier. Dengan upaya demikian, selain pasar dalam negeri dapat terlindungi, sementara daya saing produk nasional juga akan semakin kuat, karena faktor-faktor yang menjadi beban biaya maupun menghambat perkembangan usaha sudah mampu diminimalisir.
Sesuai dengan pengumuman World Economic Forum (WEF) pada tanggal 9 September 2010 yang lalu, telah disampaikan peringkat Global Competitivenes Index (GCI) untuk negara-negara yang dimuat dalam Global Competitiveness Report (GCR) untuk 2010-2011. Dalam GCI tahun 2010, peringkat daya saing Indonesia telah mengalami kenaikan substansial yakni menempati peringkat ke-44 di tahun 2010 ini dari peringkat ke-54 pada tahun 2009.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia terutama disebabkan oleh meningkatnya peringkat pada indikator “makroekonomi” (dari peringkat 52 menjadi 34), “kesehatan dan pendidikan dasar” (dari 82 menjadi 62), “quality of overall infrastructure” (dari 96 menjadi 90), “intellectual property protection” (dari 67 menjadi 58), “national savings rate” (dari 40 menjadi 16), “effectiveness of anti-monopoly policy” (dari 35 menjadi 30), dan “extent and effect of taxation” (dari 22 menjadi 17)”.
Disampaikan pula, beberapa indikator pada pilar kepuasan bisnis (business sophistication) yang juga meningkat, yaitu local supplier quantity (dari 50 menjadi 43), value chain breadth (dari 35 menjadi 26), control of international distribution (dari 39 menjadi 33), dan production process sophistication (dari 60 menjadi 52).
Secara umum, memang tingkat daya saing Indonesia meningkat, namun beberapa indikator yang justru menjadi faktor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing secara signifikan belum berubah. Laporan CGI memperlihatkan untuk infrastruktur dan energi, prestasi Indonesia masih belum menggembirakan. Kondisi infrastruktur Indonesia berada di posisi 82 dari 144 negara. Begitu pula dengan sektor jalan, posisi Indonesia berada di urutan ke-84 dan posisi ke-97 untuk ketersediaan pasokan listrik. Sementara tingkat penggunaan ICT (Information and Communication Technologies), menurut CGI, posisi Indonesia tetap rendah yakni 103 dari 144 negara.
Hasil pemeringkatan seperti ini, yang dilakukan oleh lembaga internasional, sesungguhnya merupakan citra positif yang dapat berdampak pada meningkatnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Namun demikian, kita masih harus bekerja keras agar seluruh indikator yang dijadikan pengukuran dapat menjadi semakin baik. Hal yang sangat penting bagi dunia usaha Indonesia yakni efisiensi, yang dapat menciptakan daya saing tinggi di pasar global dan dalam perekonomian yang kompetitif. Optimalisasi efisiensi ini harus direalisasikan, karena dalam proses produksi dan pemasaran selalu dilandaskan pada kemampuan menciptakan barang yang laku dan berdaya saing tinggi diseluruh dunia dengan berorientasi pada kebutuhan konsumen, serta memanfaatkan teknologi dan informasi sebagai basis pengembangan. Orientasi kepada konsumen merupakan hal yang perlu menjadi prioritas, karena pada akhirnya pemenang utama liberalisasi perdagangan adalah konsumen. Saat ini orang tidak lagi begitu pedulu dengan siapa atau dari negara mana produk barang/jasa yang mereka beli. Bagi mereka yang terpenting adalah harganya dapat terjangkau dan memiliki kualitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Terkait dengan persaingan yang makin berat, terutama dengan produk China, maka tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk segera mengambil sejumlah langkah strategis, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, diantaranya:
1. Diversifikasi produk dan pasar.
2. Melakukan aliansi strategis dengan perusahaan-perusahaan besar terutama yang memiliki jaringan bisnis global.
3. Memperbaiki kualitas dan merubah penampilan produk atau menambah asesoris produk sesuai permintaan atau tren pasar yang sedang berkembang.
4. Mempertinggi efisiensi dan produktivitas.
5. Memperkuat akses ke sumber-sumber informasi mengenai pasar, bahan baku, teknologi dan kebijakan-kebijakan dan regulasi-regulasi menyangkut perdagangan internasional, baik secara individual di negara tujuan maupun dalam konteks perjanjian regional seperti AFTA dan Uni Eropa, maupun global yakni WTO.
6. Melakukan kegiatan promosi yang lebih agresif, namun efisien dan efektif.
7. Menjalin kerjasama yang lebih baik dengan pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya maupun swasta pendukung kegiatan ekspor, universitas, asosiasi bisnis dan Kadin.
8. Melakukan penyesuaian dalam manajemen dan organisasi.
Sedangkan langkah-langkah strategis jangka panjang diantaranya:
1. Mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi.
2. Melakukan inovasi dalam proses produksi dan produk berdasarkan skenario permintaan dunia dalam jangka menengah dan panjang.
3. Meningkatkan kapasitas produksi.
4. Membangun jaringan bisnis global sendiri atau secara kelompok.
Menurut pandangan saya bahwa ada beberapa hal pokok yang harus menjadi perhatian kita bersama seiring dengan adanya liberalisasi perdagangan ini, yakni :
Liberalisasi perdagangan merupakan trend perkembangan ekonomi yang tidak dapat dielakkan dan untuk memasuki kancah ini diperlukan persiapan yang baik, agar Indonesia dapat mengambil keuntungan dari kesepakatan kerjasama yang akan dilaksanakan.
Dampak liberalisasi perdagangan bisa menjadi positif atau negatif, tergantung kesiapan dan kemampuan daya saing suatu negara. Makin tinggi tingkat daya saingnya, maka negara tersebut akan makin siap untuk menjalankan persaingan perdagangan di pasar internasional.
Untuk meningkatkan daya saing, maka faktor-faktor yang menjadi penghambat harus ditangani dan dibenahi secara sungguh-sungguh, terutama yang terkait dengan masalah infrastruktur, energi dan lain-lain. Sejalan dengan itu, dalam rangka melindungai pasar dalam negeri sekaligus meningkatkan kualitas dan mutu produk, perlu diterapkan SNI secara sungguh-sungguh dan secara cepat diterapkan untuk seluruh produk yang ada. Hal ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari non tariff barrier bagi produk impor.
Pada akhirnya, kendati trend liberalisasi sudah demikian mengemuka, namun nasionalisme tetap harus ditempatkan dalam konteks kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya tidak harus anti asing, tetapi tidak juga berarti harus membuka pasar secara membabi buta. Perlu kewaspadaan dan persiapan yang baik serta negosiasi yang handal.
*) Mahasiswa Pasca Sarjana/Magister Ekonomika Pembangunan Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (MEP FEB UGM)
Dibaca 51 kali
KOMENTAR BERITA